Saham-saham Pilihan di Tengah PSBB Tak Bergigi DKI
22 September 2020, 09:00:00 Dilihat: 398x
Jakarta -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan lalu mendarat di level 5.059 atau menguat 0,89 persen. Kinerja ciamik tersebut di luar ekspektasi para analis pasar modal, mengingat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jilid II DKI Jakarta, yang diperkirakan memukul keras indeks saham.
Sejak Senin (14/9) lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan PSBB. Namun, PSBB kali ini agak berbeda dengan terdahulunya. Pada PSBB kali ini, mal diizinkan beroperasi, meski restoran tidak bisa melayani makan di tempat (dine in). Kantor-kantor pun diizinkan buka.
Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan menyebut bahwa efek PSBB jilid II telah memudar. Namun demikian, tidak berarti IHSG langsung melenggang ke zona hijau. Investor asing dinilai masih ragu-ragu dengan pasar modal di dalam negeri. Hal ini terbukti dari aksi jual bersih asing yang menembus Rp3,84 triliun.
"Bersyukurnya (investor) domestik bisa mengisi porsi asing yang keluar. Tren masih akan berlanjut sampai pekan ini, bahkan sebulan ini asing masih akan dalam kondisi net sell," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (21/9).
Menurut Alfred, saham-saham berkapitalisasi besar yang masih akan ramai dilego asing. Terutama, di sektor perbankan. Salah satunya, saham grup Salim PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
BBCA pada pekan lalu kembali koreksi, turun 4,66 persen ke posisi 28.150. Bank swasta nomor wahid ini dalam sebulan terakhir tercatat turun 11,06 persen dari posisinya di level 33.000.
Meski menilai sentimen PSBB tak lagi bakal menekan IHSG, namun Alfred menyebut keputusan PSBB jilid II Gubernur DKI Anies Baswedan ini membuat proses pemulihan indeks saham bakal lebih panjang.
Selain itu, kata Alfred, jika pun nantinya indeks global bakal menguat akibat sentimen global, IHSG tak bakal mencicipi hal tersebut karena terbatasnya kemampuan investor lokal.
Alfred memproyeksikan IHSG bergerak sideways. Jika berhasil kembali menguat, sifatnya terbatas maksimal di posisi 5.100-an.
"Aksi jual asing itu yang membuat kita kalau nantinya bursa internasional naik, dampaknya ke IHSG tidak cukup signifikan," lanjutnya.
Alasan lain, belum ada sentimen yang cukup menonjol untuk menggerakkan indeks. Keputusan rapat bulanan beberapa bank sentral, seperti Bank Indonesia (BI) dan The Fed pun sudah diumumkan.
Namun, menurut dia, keputusan BI menahan suku bunga acuan di level 4 persen untuk September 2020 berpotensi mengungkit sektor properti. "Karena 60 persen - 70 persen dari proyek properti masih mengandalkan pembiayaan perbankan," jelas Alfred.
Tidak hanya itu, sentimen positif juga berasal dari dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang akan ditempatkan di sektor kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi mau pun non-subsidi.
Direktur Utama PT BTN (Persero) Tbk atau BBTN Pahala Mansury pada pekan lalu menyebutkan pihaknya berambisi melipatgandakan dana Rp5 triliun titipan pemerintah. Penyaluran kredit dari penempatan dana pemerintah ditargetkan menembus Rp30 triliun pada akhir tahun ini.
Dari total dana tersebut, ditargetkan penyaluran kredit untuk KPR bersubsidi hingga akhir Desember 2020 dapat mencapai Rp8,2 triliun dan Rp6 triliun untuk KPR non-subsidi.
Sejalan dengan sentimen itu, Alfred merekomendasikan investor untuk memantau saham-saham sektor properti, seperti PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA).
Untuk BSDE, disarankan untuk masuk atau beli di rentang 720-740 dengan target 880. Sementara, untuk CTRA dapat dikoleksi pada rentang 645-660 dengan target 735.
Untuk tambahan koleksi saham, Alfred menyebut TLKM atau PT Telkom (Persero) Tbk juga dapat diperhatikan. Ia mencermati aksi jual TLKM sejak beberapa bulan terakhir telah melandai, bahkan emiten telah menunjukkan tren naik.
Ia menuturkan saham TLKM aman dibeli di bawah level 3.000 dan ditargetkan untuk ambil cuan di posisi 3.970.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Hariyanto Wijaya punya rekomendasi lain. Ia memperkirakan saham-saham di sektor komoditas, seperti CPO, timah, dan nikel merangkak naik pekan ini searah dengan tren kenaikan harga komoditas tersebut.
Menurut dia, ada dua faktor pendorong. Pertama, pemulihan sektor manufaktur di China, ini tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) Agustus 2020 di angka 53,1 atau naik dari perolehan bulan sebelumnya 52,8.
Kedua, melemahnya dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia, salah satunya mata uang garuda. "Terutama, karena harga komoditas memiliki hubungan terbalik dengan kurs dolar AS," jelasnya.
Hariyanto merekomendasikan beli saham-saham komoditas, seperti PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) untuk komoditas CPO, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) untuk nikel, PT Semen Indonesia (Persero) Tbk atau SMGR dan PT Timah Tbk (TINS) untuk timah.
Ia menambahkan sektor konsumer juga dapat dijadikan pilihan. Rekomendasinya, duo Indofood, yakni PT Indofood Sukses Makmus Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
Namun, ia tak menyertakan harga beli atau pun harga target akan saham-saham pilihannya tersebut.
Sumber : cnnindonesia.com